Saturday, February 29, 2020

PENGGALIAN DAN PENEMUAN HUKUM (Ijtihad, taqlid, Ittiba dan Talfiq)


PEMBAHASAN
A.    IJTIHAD
1.      Pengertian
Ijtihad dalam bentuk mashdar yang berarti dari kata dasar “ijtihada”, artinya bersungguh-sungguh, berusaha keras, atau mengerjakan sesuatu denag susah payah.[1] Kata ijtihada berasal dari akar kata ja ha da atau ja hi da dengan menambahkan dua huruf yaitu alif diawalnya dan ta antara huruf jim dan ha yang mengandung maksud mubalaghah yaitu dalam penegertian sangat. Secara estimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahadatau al-juhud, yng berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan).[2]
Para ahli fiqh memberikan banyak definisi ijtihad akan tetapi satu sama lain tidak mengandung perbedaan yang prinsip, bahkan terlihat saling menyempurnakan dan menguatkan. Diantaranya dalah sebagai berikut.
1.             Ibn Abdus-Syakur, ulama’ kalangan hanafiyah mengatkan pengarahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ samapi ke tingkat zhani (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak lagi berupaya lebih dari itu.
2.             Al-Baidawi ulama kalangan syafi’iyah mengatakan, pengarahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’.
3.             Abu Zahara ulama awal abad 20 mengatakan pengarahan seorang ahli fiqh akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya.
4.             Saifuddin al-Amidi dalam bukunya Al Ihkam mengatakan mencurahkan segala kemampuan dalam memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara’ dalam bentuk yang dirinya merasa tidak mampu berbuaat lebih dari itu.[3]
Dari definisi tersebut dapat dan beberapa definisi lainnya dapat disimpulkan bahwa: ijtihad adalah pengarahan usaha yang sungguh-sungguh hingga tingkat maksimal oleh seorang fakih atau ahli agama. Guna menyelidiki dan memeriksa keterangan-keterangan dari Al-quran dan sunah untuk memperoleh sangkaan yang berat atau hukum yang bersifat Zonni. Dalam meng-istinbatkan suatu hukum syara’ untuk diamalkan.[4]
2.      Hukum Ijtihd
Hukum berijtihad  dapat dilihat dari segi:
1.      Dari hasil ijtihadnya itu adalah untuk kepentingan yang diamalkannya sendiri, seperti menentukan arah kiblat pada waktu akan melakukan shalat.
2.      Dari segi bahwa mujtahid itu adalah seorang mufti yang fatwanya akan diamalkan oleh umat atau pengikutnya.
Selanjutnya hukum berijtihad seorang seorang faqih dapat dilihat dari segi prinsip umum dalam menetapkan hukum, tanpa memandang kepada keadaan dan kondisi tertentu.
Secara umum hukum hukum dari ijtihad adalah wajib untuk seseorang faqih yang sudah memahami segala aspek ilmu fiqh dari sumber hingga alat-alat atau metode untuk berijtihad. Artinya seorang mujtahid memiliki kewajiaban berijtihad untuk mendapatkan hukum syara’ yang tidak memiliki hukum secara jelas dan pasti.
Adapun dalil mengenai kewajiban untuk berijtihad dapat dipahami dari QS: Al-Hasyr (59) yang berbunyi “Maka ambilah (kejadian itu) untuk menjadi pelajran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan”. Dalam ayat ini Allah merintahkan kepada orang-orang yang memiliki wawasan atau pengetahuan untuk mengambil pelajran. Ayat ini menjelaskan malapetaka yang yang menimpa ahli kitab (yahudi) disebabkan perbuatan mereka. Seorang faqih dapat mengambil kesimpulan bahwa kaum manapun akan mendapati akibat yang sama jika berbuat seperti kaum yahudi yang dijelaskan dalam ayat ini.
Dalil lainnya adalah QS: An-Nissa’ (4) yang berbunyi “maka jika kamu berselisih paham tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rasul”.Dalam ayat ini Allah memerintahkan segala sesuatu perselisihan mengenai hukum yang tidak jelas dan tegas didalam nash untuk dikembaliakan kepada Allah dan Rasul Nya. Cara ini merupakan bentuk daripada Qiyas, mengambil hukum sesuatu dengan perumpamaan sesuatu lainnya dan cara ini merupakan sebagian daripada ijtihad.
3.      Macam-Macam Ijtihad
Dikalangan ulama terjadi, terdapat perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Imam Syafi’i menyamakn ijtihad dengan qiyas, yakni dua nama tapi maksudnya satu. Dia tidak mengaku ra’yu yang didasarkan pada istishsan atau maslahah. Sementara itu para ulama lainnya memiliki pendapat lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka itu mencakup ra’yu, qiyas dan akal.
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid atau setidaknya mendekati syariat tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau tidak. Berdasarkan pendapat tersebut Dr. Dawalibi mebagi ijtihad dalam kitab Al-Muwafakat, sebagai berikut:
a.       Ijtihad Al-Batani, merupakan ijtihad yang menjelaskan hukum;hukum syara’ dari nash.
b.      Ijtihad Al-qiyasi merupakan ijtihad mengenai permasalahan yang tidak didapati dalam Al-Quran maupun As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
c.       Ijtihad al-istislah, merupakan ijtihad mengenai permasalahan yang tidak didapati ndalam Al-Quran maupun As-Sunah dengan menggunkan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.[5]

4.      Syrat-Syarat Ijtihad
ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat ijtihad atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid. Secar umum pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut.
a.         Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Quran, baik menurut bahasa maupun syari’ah. Akan tetapi tidak diosyaratkan harus menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya saja.
b.         Mengetahui dan menguasai hadis-hadis tentang hukum,baik menurut bahasa maupun syari’ah. Akan tetapi tidak disyaratkan harus menghapalnya, akan tetapi cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti.
c.         Mengetahui nasakh dan mansukhdari Al-Quran dan As-Sunnah, supaya tidak salah dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan untuk menghapalnya.
d.        Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan oleh ijma’ ulama, sehingga ijtihad nya tidak bertentangan dengan ijma’.
e.         Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratan serta mengistinbat nya, karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad.
f.         Mengetahui bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematikanya.
g.        Mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan fondasi dari dari ijtihad.
h.        Mengetahui maqoshidu Asy-Syari’ah (tujuan Syari’at) secara umum, karena bagaimanapun Syaria’t itu berkaitan dengan maqashidu Asy-Syariah atau rahasia di syaria’t kannya suatu hukum.[6]

B.     TAQLID
1.      Pengertian
Taqlid berasal dari bahasa arab qallada, yuqallidu, taqliidan yang mempunyai arti banyak: mengulangi, meniru, mengikuti. Sedangkan para ulama fiqh mengartikan taqlid sebagai penerimaan perkataan seseorang yang tidak diketahui dari mana asal perkataan itu.[7]
Taqlid menurut makna etimologis yang disepakati oleh para ulama bersal dari kata qallada yang bermakna  meletakan tali atau ikatan disekitar leher istilah ini digunakan untuk menyiratkan kebergantungan seseorang kepada orang lain. Sementara secara terminaligis para ulama cenderung sepakat pada satu makna walaupun agak berbeda dalam radaksionalnya.[8]
Menurut pendapat lain taqlid yaitu menerima pendapat seseorang tanpa mengetahui darimana sumber pendapat tersebut.[9] Dalam hal ini taqlid ialah orang yang mengikuti fatwa orang lain tanpa memfahami dasar pengembaliannya. Orang yang menerima fatwa orang lain itu dinamakan muqallid. Secara bahasa itu berkembang menjadi istilah hukum yang hakikatnya tidak berjauhan dari maksud bahasa itu.[10]Menurut Al-Ghazali: menerima ucapan hujah.Menurut Al-Asnawi dalam kitab nuhayat al-Ushul mengemukakan definisi: mengambil perkataan orang tanpa dalail. Menurut Ibnu subki dalam kitab Jam’ul Jamawi: taqlid ialah mengambil suatu perkstaan tanpa dalil. Diantara tiga definisi yang dikemukakan diatas, al-Ghazali memberikan pengertian tentang taqlid  secara harflah paling sederhana, tidak lebih dari tiga kata. Oleh karena itu jika definisi itu ditelaah menurut apa adanya belum memberikan pengertian yang lengkap, sehingga menimbulkan pertanyaan yang belum dijelaskan.

2.      Hukum Taqlid
Pada dasarnya para ulama sepakat mengharamkan taqlid karena dapat membuat manusia malas untuk berijtihad. Dalam Al-quran terdapat ayat-ayat yang mengisyaratkan melarang orang islam ikut-ikutan dalam menjalankan agama, diantaranya firman Allah dalam surat Luqman (31) “dan apabila dikatakan kepada mereka ikutilah apa yang diturunkan Allah, mereka menjawab (tidak) tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakan dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka kedalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)”. Hukum taqlid dibagi menjadi 3 yaitu:
1.             Taqlid yang haram
Para ulama membagi taqlid yang dihukumi haram ini menjadi tiga macam yaitu:
a.       Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang tau pendapat orang-orang pendahulu, yang bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah.
b.      Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya seperti orang yang menyembah berhala, tapi ia tidak mengetahui kemapun dan kekuasan berhala tersebut.
c.       Taqlid pada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengaetahui bahwa perkataan pendapat itu salah.

2.             Taqlid yang dibolehkan
Diperbolehkan bertaqlid kepada seseorang mujtahid dalam hal-hal yang ia belum ketahui hukum allah dan Rasulnya yang berhubungan dengan persoalan atau suatu peristiwa, dengan syarat bahwa ia harus mencari dalil dan menyelidiki kebenarannya, maksudnya bertaqlidnya itu hanya sementara. Dan jika kebenarannya sudah diketahui dari Al-Quran dan hadis dan ternyata pendapat mujtahid tersebut salah maka pendapat itu harus harus ditinggalkan dan kembali pada Al-quran dan hadits.
Taqlid ini biasanya terjadi pada orang awam kepada ulama yang dipercayainya, selama orang awam itu belum menemukan alasan dari pendapat ulama yang diikutinya itu. Hal semacam ini sudah terjadi dikalangan iskllam sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
3.             Taqlid yang wajib
Pada zaman ini taqlid yang berkembang seperti di Indonesia adalah taqlid kepada buku, bukan taqlid pada imam-imam yang terkenal. Jika seseorang bertaqlid kepada kepada seseorang imam dia harus mengikuti ajaran imam tersebut secara murni, atau setidaknya kepada muridnya yang paling dekat. Orang yang bertaqlid pada salah satu imam tidak boleh mengikuti ajaran imam lain. Tapi kenyataan yang terjadi adalah tidak demikian, kebanyakan orang mengikuti pendapat seseorang yang digolongkan termasuk mahzab salah satu imam.
Jadi kenyatannya menunjukan bahwa  taqlid yang berkembang masa sekarang, bukan taqlid kepada mujtahid tetapi taqlid kepada orang-orang yang mengaku bertaqlid kepada imam yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya kedalam kitab karangan imam-imam yang terkenal. Hal semacam ini snagt dilarang para ulama, khususnya Ad Dalawi, Ibnu Abdil Bar, Al jauzi dan sebaginya.
3.      Syarat-syrat Taqlid
Tentang syrata-syarat taqlid bisa di lihat dari dua hal, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat yang di taqlod.
1.      Syarat-syarat orang yang bertaqlid
Ialah orang awam atau orang biasa yang tidak mengerti mencari cara-cara mencari hukum syara dan mengamalkannya. Adapun yang pandai dan sanggup menggali sendiri hukum-hukum syara maka ia harus berijtihad kalau baginya masih cukup. Namun kalau waktunya semoit dan di khawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakannya yang lain (dalam soal ibadah ) maka menurut suatu pendapat maka ia boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.
2.      Sayarat-syarat yang di taqlid
Adalah hukum yang berhubungan dengan syara. Dalam hukum akal tidak boleh bertaqlid pada orang lain, seperti mengetahui adanya dzat yang menciptakan alam seerta sifat-sifatnya. Begitu juga hukum akal lainnya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, dan setiap orang mempunyai akal.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sdambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh ad Dahlawi, Ibnu abdil Bar, al jauzi dan sebagainya.
C.    Ittiba’
A.    Pengertian Ittiba’
Kata ittiba’ berasal dari bahasa arab, yakni dari kata kerja atau fi’il “ittiba’a” “Yattabiu” “Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau menurun. Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seseorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu madzhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat dengan jalan membandingkan.[11] Tidak ada yang membangkang kepada perintah Allah tersebut kecuali orang-orang yang taqlid kepada nenek moyangnya atau kebiasaan yang berlaku di sekelilingnya atau hawa nafsunya yang mengajak untuk membangkang dari perintah AlIah. Mereka tolak datangnya kebenaran karena taqlid.
Tidak ada satu pun kesesatan kecuali disebabkan taqlid kepada kebatilan yang diperindah oleh iblis sehingga tampak sebagai kebenaran. Inilah sebab kesesatan setiap kaum para rasul yang menolak dakwah para rasul.  IniIah sebab kesesatan orang-orang Nashara yang taqlid kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka.Inilah sebab kesesatan setiap kelompok ahli bid’ah yang taqlid kepada pemikiran-pemikiran sesat dan gembong-gembong mereka. Para pengikut kesesatan ini menggunakan segala cara untuk mempertahankan kesesatan mereka sekaligus mengajak orang-orang selain mereka kepada jalan mereka. Mereka sebarkan syubhat bahwa orang yang ittiba’ kepada manhaj para ulama adalah taqlid kepada ulama.Mereka campur adukkan antara taqlid dan ittiba’. Jika mereka diseru untuk meninggalkan taqlid kepada pemikiran para pemimpin kesesatan mereka, mereka balik membantah, “Wahai para Salafiyyun kalian jugataqlid kepada para ulama kalian!” Inilah jalan setiap pemilik kesesatan dari masa ke masa, mereka gabungkan antara kebatilan dengan kebenaran, mereka kaburkan garis pemisah antara keduanya.
Dengan memhon Taufiq dari Allah pada pembahasan kali ini kami ketengahkan kepada pembaca beberapa perbedaan yang mendasar antara taqlid dan ittiba’ agar kita bisa memahaminya dengan benar, dan sekaligus -bi’idznillah-bisa menepis syubhat para pemilik kebatilan dalam masalah ini.

B.     Hukum Ittiba’
Dari pengertian diatas, jelaslah bahwa yang dinamakn ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alesan agama. Adapun orang yang mengambil atau mengikut pendapat ulama denga disertai alasan-alasan, dinamakan muttabi’.
Hukum ittiba’ adalah wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah diperintah oleh Allah, kita telah mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang merubahnya. Disamping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi “wajib atas kamu mengikuti sunahku dan perjalanan atau sunah Khulafaur Rasyiddin sesudahku.[12] Selain itu, banyak pula fatwa imam mazhab yang menunjukan akan wajibnya ittiba’ memang demikianlah praktik-praktik para sahabat Nabi SAW.

D.    Talfiq
A.    Pengertia Talfiq
Talfiq menurut bahasa adalah menutup, menambal, tak dapat mencapai, dan lainsebagainya. Adapun talfiq yang di bahas ushul fiqih adalah mengamalkan suatu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih. Maksudnya adalah seseorang mengikuti pendapat syafi’i dalam masalah iddah wanita yang ditalak, karena merasa balesannya lebih kuat dari mazhab lain umpamannya. Selain dalam hal nya tidak adanya wali mujbir dalam perkawinan, ia mengikuti pendapat hanafi karena merasa alesannya lebih kuat , yang demikian dinamakan talfiq dalam masalah yang berlainan.
Disamping itu mungkin juga termasuk dalam kategori talfiq, seseorang ber-talfiq dalam satu masalah, seperti dalam masalah wudhu. Seseorang tidak melafadzkan niat, kareana mengikuti mazhab hanafy, tapi dalam hal mengusap kepala ketika wudhu cukup sebagian kepala saja, karena mengikuti mazhab maliki misalnya.
B.     Ruang Lingkup Talfiq
Masalah talfiq sama halnya dengan masalah taklid, ruang lingkupnya adalah dalam masalah-masalah ijtihadi yang bersifat zhanni (bukan merupakan perkara qathi’ atau pasti, Pent.). Adapun setiap perkara yang ma’lum fiddin bidhdharurah (prinsipil) dalam agama ini, berupa perkara-perkara yang disandarkan pada hukum syar’i (yang pasti), yang telah disepakati oleh kaum muslimin dan pengingkarnya dihukumi kafir, maka tidak boleh ada taklid apalagi membuat talfiq di dalamnya.
Atas dasar itu, maka tidak boleh membuat talfiq yang dapat mengarah kepada pembolehan (penghalalan) perkara yang diharamkan seperti khamr (miras) dan zina.
C.     Hukum Talfiq
Para Mutaqaddimin tidak membuat larangan terhadap talfiq,atau seseorang bertalfiq,bahkan pada banyak tempat mereka menganjurkan untuk meneliti fatwa-fatwa mereka,dan juga mengatakan bahwa tidaklah halal memfatwakan fatwa mereka bila tidak diketahui alasan alasanya ,seperti yang telah kita sebutkan pada pasal yang lalu. Mereka juga memfatwakan supaya melemparkan jauh-jauh fatwa mereka bila ternyata bertentangan dengan Nash.
Anjuran atau larangan di atas dapat dipahami bahwa,semua itu menghendaki agar semua orang muslim supaya menjauhi diri dari “tablid”,dan dengan sendirnya menghendaki supaya melakukan ijtihad,atau sekurang-kurangnya ber-ittiba, hal yang demikian kemungkinan besar akan membawa kepada talfiq.
Setelah dilakukan penelahan atau penelitian memang diperbolehkanya  talfiq adalah dalam perselisihan para ulama, atau lebih jelasnya adalah oleh para fuqah muta’akhirin,adapun mereka yang fanatik pada mazhab ,berfatwa bahwa para qadhi berhak menghukum (yakni hukum ta’zir)[13]  terhadap orang yang bepindah mazhab.
Bila kita lakukan perbandingan tentang hal tersbut,maka pendapat muta’akhirin yang terkuat adalah,pendapat yang membolehkan talfiq atau bertalfiq.Sedangkan perbedaan pendapat antara mereka adalah sebagai berikut:
1.      Madzhab Syafi’i tidak membenarkan seseorang berpindah mazhab,baik secara keseluruhan masalah ,yakni dalam masalah yang berlainan,maupun     dalam satu bidang masalah saja.    
2.      Madzhab Hanafy membolehkan talfiq dengan syarat bahwa,masalah yangdi talfiq-an itu bukan dalam satu masalah atau qadiah. Sebagai contoh misalnya ,ber wudhu menurut mazhab Syafi’i,sedang pembatalanya menurut mazhab Hanafy. Atau menyapu muka dalam berwudhu menurut mazhab Syafi’i, sedang mengusap rambut dalam hal berwudhu juga menurut Mazhab Maliki. 


[1] Dr. Kh. M. Ma’shum Zein, M.a Menguasai Ilmu ushul fiqh Apa dan Bagaimana hukum Islam Disarikan Dari SumberNya(Yogyakarta: Pustaka Pesantren,2016), hlm 191
[2]Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung:Pustaka Setia 2015) hlm 97
[3]Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 (Jakarta:kencana, 2008), hlm 260
[4]Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H. M.A, Ilmu Ushul Fiqih (Jakarta:Kencana 2010) hlm 177-178
[5]Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung:Pustaka Setia 2015) hlm 103-104
[6]Prof. Dr. H. Juhaya S. Praja. Hlm 105-106
[7]Suyoto tobroni, al-islam2 (malang:pusat dokumentasi dan kajian al-islam-umum, 1992) hlm 1
[9]Saeful hadi, ushul fiqh (Yogyakarta:sabda media, 2009) hlm. 125
[11]Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H. M.A.  Ilmu Ushul Fiqih  lm 195-196
[12]Yang dimaksud dengan Khulafaur Rasyidin adalah khalifah-khalifah yang dikategorikan oleh sejarah islam kedalam kepala negara yang lurus yakni abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali.
[13] Ta’zir adalah memisahkan, mengisolasikan atau mengasingkan seseorangatau beberapa orang dari masyarakat banyak.