Saturday, February 29, 2020

SYARI’AH, THARIQAH, HAQIHAH, DAN MA’RIFAT


PEMBAHASAN

1.1 Syari’at

Syariat jika ditinjau secara bahasa berasal dari turunan kata شرع  يشرع شرعا yang berarti membuat peraturan atau undang-undang. Istilah syariah menurut bahasa juga berarti jalan, yakni jalan besar di sebuah kota. Syariah pun berarti apa yang diturunkan Allah kepada para rasul-Nya meliputi akidah dan hukum-hukum, sedangkan secara khusus syariah berarti hukum Islam. Syariah dalam arti luas adalah din, agama yang diturunkan Allah kepada para Nabi ( Q.S Asy - Syura : 42 ). Pengertian syariah dalam arti segala sesuatu yang dikandung di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah ditemukan dalam tulisan ulama terkemuka seperti dalam kitab Al-Ta'rifat karya Ali Ibn Muhammad Al-Jurjani dan dalam kitab Al Musthasfa' Min 'ilm Al Ushul karya Imam Al-Ghazali. Mereka berpendapat bahwa Syariah identik dengan Ad-Din (agama) dan tidak identik dengan fikih. Sementara iti fikih didefinisikan oleh Imam Syafi'i adalah ilmu tentang hukum syariah yang bersifat amaliah, yang diperoleh melalui ijtihad dan dalilnya dijelaskan secara rinci.
Tegasnya syariah itu segala peraturan agama yang bersumber dari kitab suci Al-Quran dan Al-Hadist. Allah SWT berfirman yang artinya : " untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. " ( Q.S 5 : 48 ). Orang-orang sufi mengartikan syariat sebagai amalan-amalan lahir yang difardhukan dalam agama, yang biasa dikenal dengan Rukun Islam, dan segala hal yang berhubungan dengan itu, yang bersumber dari Al-Quran dan Hadist.
Oleh karena itu, rasa nikmat dalam beribadah itu telah merasuk kedalam jiwa, maka timbullah kegairahan untuk memperbanyak amalan, tidak hanya yang wajib, tetapi juga yang Sunnah. Amalan sunnah dihukumkan seperti amalan wajib, yang ditetapkan tata cara dan waktu pengamalannya. Seperti dzikir sekian kali dalam waktu tertentu. Akibatnya seluruh waktu mereka digunakan untuk sholat dan dzikir dengan cara dan jumlah yang telah ditentukan.
Adapun syariat adalah bukti pengabdian manusia yang diwujudkan berupa ibadah melalui Wahyu yang disampaikan kepada para Rasul dan legislasi cara kita mencari yang pasti.
Syariat datang dengan peraturan hukum-hukum dari Sang Maha Pencipta untuk sepaya teratur kehidupan manusia. Sedangkan Haqiqat bersumber dari kreativitas Al-Haqq. Syariat merupakan penyembahan makhluk kepada Al-Khaliq, sedangkan Hakikat adalah kesaksiannya dari sifat makhluk meliputi zat dan sifat terhadap kenyataan kewujudannya.
Segala perbuatan yang dikerjakan oleh seluruh umat islam tidak terlepas dari suatu hukum. Menurut pamdangan ahli tasawwuf, bahwa syariat itu baru tingkat pertama menuju jalan tuhan, dengan demikian, berpegang dengan syariat sama halnya berpegang dengan agama Allah, dengan menjalankan segala perintah-nya dan berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi larangan-Nya. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam kitab Kifayatul Atqiya' oleh Syekh Zainuddin bin Ali Al-Malibari sebagai berikut : "syariat adalah berpegang kepada agama Allah Khaliqqul alam dan menjalankan segala perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-larangannya. "
Oleh sebab itu, perlu ditegaskan sekali lagi bahwa tasawuf tidak dapat dilepaskan dari pondasi islam, yaitu syariat. Dan barang siapa yang meninggalkan syariat dalam bertasawuf dengan alasan apa saja, maka akan batallah amalnya dan bahkan akan terjerumus kedalam kekufuran yang nyata.

1.2 Tariqah

Asal kata ‘tarekat’ dalam bahasa Arab ialah ‘thariqah' yang berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu.[1] Tarekat adalah 'jalan’ yang ditempuh para sufi dan dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syarsedangkan anak jalan disebut thariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik mempakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap muslim. Tak mungkin ada anak jalan tanpa ada jalan utama tempat berpangkal. Pengalaman mistik tak mungkin didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahulu dengan saksama. Dalam perkembangan selanjutnya, kata thariqab menarik perhatian kaum sufi dan mereka meniadikannya sebagai istilah khusus yang mempunyai arti tertentu. Menurut L.  Massignon, sebagaimana dikutip oleh Aboe Bakar Atjeh, thariqah di kalangan sufi mempunyai dua pengertian. Partama, cara pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang berminat menempuh hidup sufi. [2]
Sementara menurut Harun Nasution, tarekat berasal dari kata thariqah, yaitu jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi dalam tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah. Thariqah kemudian mengandung arti organisasi [tarekat], Tiap tariqat mempunyai syekh, upacara ritual, dan bentuk dzikir sendilri. Menurut pengamatan Jhon O. Voll, istilah tarekat digunakan untuk organisasi sosial maupun kewajiban-kewajiban Yang ditujukan untuk maksud khusus yang menjadi basis ritual dan struktur kelompok Dengan demikian, kelompok sufi atau thariqat mencakup spektrum aktivitas yang luas dalam sejarah dan masyarakat muslim.
Tokoh pertama yang nemperkenalkan sistem thariqah [tarekat] adalah Syekh Abdul Qldir Al-Jailani [w 561 H/1166 M] di Baghdad. Ajaran tarekatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, yang mendapat sambutan luas di Aljazair, Ghinia, dan Jawa. Adapun di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya adalah Tarekat Rifa’iyyah yang dibangun Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i
Thariqah pada dasarnya tidak terbatas jumlahnya, karena setiap manusia semestinya harus mencari jalannya sendiri sesuai bakat dan kemampuan atau taraf kebersihan hati mereka masing-masing.[3]
Jalan tarekat untuk menuju ma’rifatullah dapat ditempuh melalui tahapan berikut.
1.               tajarrud, yaitu melepaskan diri dari godaan dunia, sebab dunia selalu melalaikan manusia untuk berbakti kepada Allah.
2.               Uzlah, yaitu menyisihkan diri dari pergaulan dengan masyarakat ramai kemudian pergi meminta petunjuk dari syaikh.
3.               Fakir, yaitu tidak mempunyai apa-apa dalan kategori duniawi karena orang yang memiliki banyak harta biasanya tidak sempat memikirkan Tuhan.
4.               Dawam as-sukut, yaitu diam dan hanya berkata-kata jika bermanfaat, senantiasa berdzikir kepada Allah, serta mengaku lenah dan tidak berdaya.
5.               Qillah al akli, maksudnya sedikit makan dan minum, karena terlalu banyak makan dan minum menyebabkan kantuk dan malas .
6.               Qiyam al lail, maksudnya senantiasa bangun di waktu malam dengan shalat malam, dzikir, tsbih, tahlil, tahmid, takbir, dan istighfar.
7.               Safar, maksudnya adalah mengembara untuk menyempurnakan ajaran tarekat yang telah diberi mursyidnya. [4]

1.2.1 Sejarah Timbulnya Tarekat

Ditinjau dari segi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai suatu lembaga, sulit diketahui dengan pasti. Namun, Dr. Kamil Musthafa Asy-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan Syi’ah mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan sistem thariqah itu adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di Baghdad, Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i di Mesir dengan Tarekat Rifa’iyyah, dan Jalal Ad-Din Ar-Rumi di Parsia.
Tarekat adalah organisasi dari pengikut sufi-sufi besar. Mereka mendirikan organisasi-organisasi untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya. Maka, timbullah tarekat. Tarekat ini memakai suatu tempat pusat kegiatan yang disebut ribat [disebut iuga zawiyah, hangkah, atau pekir]. Ini merupakan tempat murid-murid berkumpul melestarikan ajaran tasawufnya, ajaran tasawuf walinya, dan ajaran tasawuf syekhnya.“ Organisasi serupa mulai timbul pada abad ke-12 M, tetapi belum menonjol dan baru tampak perkembangannya pada abad abad berikutnya.
Teori lain sejarah kemunculan tarekat dikemukakan Jhon O. Voll. Ia menjelaskan bahwa penjelasan mistis terhadap Islam muncul sejak awal sejarah Islam, dan para sufi yang mengembangkan jalan-jalan spiritual personal mereka dengan melibatkan praktik-praktik ibadah, pembacaan kitab suci, dan kepustakaan tentang kesalehan. Para sufi ini kadang-kadang terlibat konflik dengan otoritas-otoritas dalam komunitas Islam dan memberikan alternatif terhadap orientasi yang lebih bersifat legalistik, yang disampaikan oleh kebanyakan ulama. Namun, para sufi secara bertahap menjadi figur-ftgur penting dalam kehidupan keagamaan di kalangan penduduk awam dan mulai mengumpulkan kelompok-kelompok pengikut yang diidentiflkasi dan diikat bersama oleh jalan tasawuf khusus (thariqah) sang guru.  Menjelang abad ke-12 M [ke-5 H], jalan-jalan ini mulai menyediakan basis bagi kepengikutan yang lebih permanen, dan tarekat-tarekat sufi pun muncul sebagai organisasi sosial utama dalam komunitas Islam. Pada awal kemunculannya tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak).[5]

1.2.2 Aliran-Aliran Tarekat dalam Islam  

                                                          A. tarekat Qadiriyah

Qadiriyah adalah nama tarekat yang diambil dari nama pendirinya, Abd Al-Qadir Jailani, yang terkenal dengan sebutan Syekh ‘Abd Qadir Al-lailani atau quthb al-awliya. Tarekat ini menempati posisi yang amat penting dalam sejarah spiritualitas Islam karena tidak saja sebagai pelopor Iahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang tarekat di dunia Islam. Meskipun struktur organisasinya baru muncul beberapa dekade setelah kewafatannya, semasa hidupnya sang syekh telah memberikan pengaruh yang amat besar pada pemikiran dan sikap umat Islam. Ia dipandang sebagai sosok ideal dalam keunggulan dan pencerahan spiritual. Di antara praktik tarekat Qadiriyah adalah dzikir (terutam melantunkan asma’  Allah berulang-ulang) 
                 B. Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadziliyab tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu Al-Hasan Asy-Syadzili. Selanjutnya, nama tarekat ini dinisbahkan kepada namanya Syadziliyah yang mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan tarekat-tarekat lainnya. Syadziliyah menyebar luas di sebagian besar Dunia Muslim. Ia diwakili di Afrika Utara terutama oleh cabang-cabang Fasiyah dan Darqawiyah serta berkembang pesat di Mesir.              
                 C.  Tarekat Naqsabandiyah
Tarekat Naqsabandiyab, yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Awisi Al-Bukhari [w. 1389 M] di Turkistan. Ciri menonjol tarekat Naqsabandiyah adalah: Pertama, mengikuti syariat secara ketat, keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, dan lebih menyukai berdzikir dalam hati. Kedua, upaya yang serius dalam memengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekati negara pada agama. Berbeda dengan tarekat lainnya, tarekat ini tidak menganut kebijakan isolasi diri dalam menghadapi pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu. Sebaliknya, ia melancarkan konfrontasi dengan berbagai kekuatan politik agar mengubah pandangan mereka. 
                  D.  Tarekat Yasafiyah dan Khawajagawiyah
Tarekat Yasafiyah didirikan oleh Ahmad Al-Yasafi  dan disusul oleh tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abd Al-Khaliq Al-Ghuzdawani. Kedua tarekat ini menganut paham tasawuf Abu Yazid Al Bustami dan dilanjutkan oleh Abu AlFarmadhi dan Yusuf bin Ayyub Al-Hamadani. Tarekat ini sangat populer dan pemah memegang peranan panting di Turki yang dikenal dengan Korp Jenissari yang diorganisir Oleh Murad I pada masa Turki Utsmani. 
           E. Tarekat Rifa’iyah
Tarekat ini didirikan oleh Ahmad bin Ali Ar-Rifa’i. Tarekat sufi Sunni ini memainkan peranan penting dalam pelembagaan sufisme. Kemungkinan besar, hingga abad ke-15, Rifa’iyah merupakan tarekat sufi pertama yang paling tersebar luas. Setelah itu, popularitas Rifa’iyah berlaniut di Dunia Arab. Di sana, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, tarekat ini memiliki jumlah tekke terbesar. 

Sedangkan, tarekat-tarekat yang didirikan di Indonesia, di antaranya :   
                       A. Tarekat Akmaliyah (Haqmiyah)
Didirikan oleh Kyai Nurhakim. Ia dikenal sebagai dukun dan tukang jimat. Ia pemah belajar ke Kyai Hasan Maulani di Lengkong Cirebon. Ia pergi ke Bogor dan Banten serta masuk tarekat Rifa'iyah. Tarekat ini menganut ajaran metafisika wahdab al-wujud dan menganggap kitab Al-Insan Al-Kamil  Al-Jili sebagai teks pokok ajaran mereka.
          B. Tarekat Shiddiqiyah.
Didirikan oleh Kyai Mukhtar Mukti di Losari Plodo (Jombang)  pada tahun 1958. la dikenal sebagai dukun yang sakti sehingga banyak pengikutnya dari kalangan penderita penyakit kronis, bekas pecandu minuman, dan mereka yang dibebani perasaan bersalah atau frustasi akibat kegagalan di bidang politik dan perdagangan. Ajarana ajaran tauhid disajikannya dalam bentuk yang sudah disesuaikan dengan budaya masyarakat Jawa dan amalan-amalan sufi yang diajarkannya terdiri dari ratib-ratib panjang yang diikuti dengan latihan pengaturan napas.  
          C. Tarekat Wahidiyab.  
                Didirikan oleh Kyai Madjid Ma‘ruf dari Kedunglo (Kediri) pada tahun 1963. Tarekat ini bersifat terbuka dan mudah diikuti oleh siapa saja tanpa prosedur yang sulit, yaitu cukup dengan mengamalkan dzikir shalawat Wahidiyah, yang menurut pengakuan pendirinya disusun berdasarkan ilham dari Allah. Shalawat ini dibaca secara bersama-sama yang menyebabkan para pengamalnya menangis meraung-raung dan tak bisa menguasai diri. Tarekat ini mempunyai banyak pengikut di kalangan masyarakat awam Kediri dan menyebar ke seluruh Jawa Timur.[6]

1.3 Haqiqah

Hakikat (Haqiqat) adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-­benar ada. Kata ini berasal dari kata po­kok hak (al-Haq), yang berarti milik (ke­punyaan) atau benar (kebenaran).
Secara etimologi haqiqah berarti inti sesuatu, puncak atau sumber asal dari sesuatu. Dalam dunia sufi, haqiqah diartikan sebagai aspek lain dari syari’ah yang bersifat lahiriah, yaitu aspek batiniah. Dengan demikian haqiqah dapat diartikan sebagai rahasia yang paling dalam dari segala amal, dan inti dari syari’ah.
Dalam bahasa hakikat yaitu arti yang sebenarnya atau intisari atau isi akhiran. Sedangkan hakikat islam ialah bebas dan bersih dari penyakit lahir dan bathin yang menimbulkan perasaan nyaman, damai dan tentram serta menjadikan kita patuh dan taat pada segala apa yang diperintahkan oleh-Nya juga menjauhi segala larangan-Nya. Jadi Hakikat adalah buah dari benih syariat yang pengamalannya melalui tarekat menjadi sebuah pohon rimbun yang menghasil buah.
Menurut Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh seperti yang dikutip Abdul Karim as Salawy yaitu menyimpulkan tentang ilmu haqiqat itu ada tiga bagian antara lain:
1.            Hakekat Tashawwuf
Hakekat Tashawuf ini diutamakan untuk membicarakan usaha-usaha memutuskan syahwat dan meninggalkan dunia dengan segala keindahanya serta menarik diri dari kebiasaan-kebiasaan duniawi.
2.            Hakekat Ma’rifat
Yaitu mengenal nama-nama Alloh dan sifat-sifat Nya dengan bersungguh-sungguh dalam segala pekerjaan .
3.            Hakekatul Haqoiq
Hakikat ini merupakan puncak segala hakikat, ia termasuk martabat ahadiayah, penghimpun bagi semua hakikat.[7]

1.4 Ma’rifat

Menurut Al Ghazali, ma’firat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.[8] Alat memperoleh makrifat bersandar pada sir, qalb, dan ruh. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir, qalb dan ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apapun. Saat itulah ketiganya ajan menerima iluminasi dari Allah. Pada waktu itu pulalah, Allah menurunkan cahaya Nya kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah. Di sini, sampailah ia ke tingkat ma’rifat.[9]
Tujuan utama yang menjadi inti dari ajaran tasawuf adalah mencapai penghayatan ma’rifat pada Dzatullah. Ma’rifat dalam tasawuf adalah penghayatan atau pengalaman kejiwaan. Oleh karena itu alat untuk menghayati Dzat Allah bukanlah pikiran atau panca indera akan tetapi hati.[10]
Imam Al Ghazali menekankan pada fungsi hati sebagai alat untuk melihat perbendaharaan yang tersembunyi dalam alam ghaib dan untuk ma’rifat kepada Dzat Allah.[11]
Al Muhasibi menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut : 
  1.   Taat
Awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat. Taat merupakan wujud konkret ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan ungkapan-ungkapan kecintaan semata sebagiamana dilakukan sementara orang. Mengekspresikan kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengalaman merupakan kepalsuan semata. Diantara implementasi kecintaan kepada Allah adalah memenuhi hati dengan sinar. Sinar ini kemudian melimpah pada lidah dan anggota tubuh yang lain. 
                             2.  Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya. 
                    3.  Pada tahap ketiga ini, Allah menyingkap khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah memenuhi kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah. 
              4. Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi adalah fana’ yang menyebabkan baqa’.[12]
Di dalam kitab Ihya’ Ulum Ad Din, Al Ghazali membedakan jalan pengetahuan sampai kepada Tuhan bagi orang awan, ulama dan orang arif (sufi). Untuk itu ia membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa si Fulan ada di dalam rumah. Keyakinan orang awan dibangun atas dasar taklid dengan hanya mengikuti perkataan bahwa si Fulan berada di dalam rumah, tanpa diselidiki lagi. Bagi Ulama, keyakinan adanya si Fulan di dalam rumah dibangun atas dasar adanya tanda-tanda, seperti suara yang terdengar walaupun tidak kelihatan orangnya. Adapun orang arif tidak hanya melihat tanda-tandanya melalui suara di balik dinding. Lebih jauh dari itu, ia pun memasuki rumah dan menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa si Fulan benar-benar berada di dalam rumah.[13] Imam Ghazali membagi iman menjadi tiga tingkat, yang diterangkan sebagai berikut :
1.      Keimanan tingkat awal, imannya orang-orang awam, yakni iman atas dasar semata-mata taklid
2.      Tingkat kedua, imannya para mutakalimin (teolog), atas dasar campuran taklid dengan sejenis dalil. Tingkat ini masih dekat dengan keimanan orang awam.
3.      Tingkat ketiga, imannya para arifin (sufi) atas dasar persaksian secara langsung dengan perantara nurul yaqin. (ihya’ Ulum al-Din, III, hlm.15)[14]
Beberapa pandangan hakikat makrifat :
1.      Sesungguhnya ma’rifaf yang haqiqi bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang diprcayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu burhan dan nazhar milik para hakim, mutakalimin, dan ahli balaghah, tetapi ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah. Sebab, mereka adalah orang-orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbuklah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba Nya yang lain.
2.      Ma’rifat yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya ma’rifat yang murni seperti matahari yang tak dapat dilihat, kecuali dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaan Nya, mereka merasa berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah dengan lidah mereka, mereka melihat dengan pengilhaatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan Allah.[15]

1.5 Hubungan antara syari'ah, thariqah, haqiqah dan ma'rifat
Uraian tentang syari’ah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifah di atas mengambarkan betapa seriusnya para ulama sufi dalam upayanya memberi jalan bagi umat untuk mengamalkan ajaran islam dengan mudah dan tepat, sehingga mengantarkan hamba menuju kebahagian zhahir dan batin.
Syariah itu diibaratkan sebagai perahu dimana ia menjadi sarana untuk sampai pada tujuan, sementara thariqah bagaikan lautan luas yang tersedia sebagai wahana tempat tujuan berada. Sedangkan haqiqah adalah laksana intan berlian mahal yang menyenangkan hati sebagai tujuan perjalanan perahu. Dan ma’rifat itu adalah tujuan yang terakhir.
Ber-thariqah dan ber-haqiqah (berada dilautan luas menggapai mutiara) tergantung dengan syariah (sarana perahu yang kokoh). Seorang tidak akan berhasil ber-thariqah dan ber-haqiqah tanpa melalui syariah. Dengan ungkapan lain, bahwa seseorang tidak akan mendapatkan intan-mutiara tanpa menyediakan perahu dan menyemai lautan dalam. Perumpamaan  keempat konseptersebut merupakan sebuah sistem dan struktur amalan islam yang tidak dapat dipisah-pisah.
Ibarat buah manis suatu pohon, maka tidak bisa buah tersebut bermunculan terus tanpa disuplai oleh akar-akar pohon, oleh karena kesemuanya merupakan satu struktur sistematik. Sama halnya dengan satu buah berharga semisal durian. Seseorang tidak dapat langsung memperoleh inti buahnya, kecuali terlebih dahulu harus mengupas kulit dengan susah payah, dan beresiko terkena durinya, dan oleh sebab itu harus hati-hati.
Atas dasar ilustrasi seperti itu, ibadah-ibadah islam terus diwajibkan sepanjang hidup manusia sembari diperoleh buah ibadah yang berupa ma’rifattullah yang menjadi hakikat dan tujuan ibadah tersebut.
            Dari uraian dan ilustrasi tentang syariah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifat di atas dapat dipahami, bahwa keempat tema tersebut adalah sebuah konseptualisasi terhadap islam oleh para sufi dalam rangka menjelaskan prosedur pengamalan islam dengan benar. Singkatnya, konseptualisasi tersebut menggambarkan intensitas keislaman pengamalanya, bukannya mengkotak-kotak islam menjadi empat dimensi terpisah.


[1] Luis Makluf, Al- Munjid fi Lughat wa Al-A’lam, (Dar Al-Masyrid, Beurit, 1986), hlm. 465
[2] Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 203
[3] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam,  (Jakarta, PT Raja Grafindo Perasada, 2002), hlm. 40
[4] Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta, Amzah, 2017), hlm. 291
[5] Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 206-209

[6] Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 211-216

[7] Abdul Karim as Syalawy, Titik Persimpangan Tasawuf dan Kebatinan (Pekalongan: Bahagia, 1995) hal. 75-76
[8] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1978), hlm. 78
[9] M. sholihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 142
[10] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam,  (Jakarta, PT Raja Grafindo Perasada, 2002), hlm. 115
[11] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam,  (Jakarta, PT Raja Grafindo Perasada, 2002), hlm. 118
[12] M. sholihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung, CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 127-128
[13] Ghazali, Ihya Ulum Ad Din, Jilid III, hlm. 15
[14] Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam,  (Jakarta, PT Raja Grafindo Perasada, 2002), hlm. 153
[15] Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam, (London, Routledge and Kefan Paul, 1975), hlm.115

No comments:

Post a Comment