PEMBAHASAN
1.1 Syari’at
Syariat jika
ditinjau secara bahasa berasal dari turunan kata شرع
يشرع شرعا yang berarti membuat peraturan atau undang-undang. Istilah
syariah menurut bahasa juga berarti jalan, yakni jalan besar di
sebuah kota. Syariah pun
berarti apa yang diturunkan Allah
kepada para rasul-Nya meliputi
akidah dan hukum-hukum,
sedangkan secara khusus syariah berarti hukum Islam. Syariah dalam arti luas adalah din,
agama yang diturunkan Allah
kepada para Nabi ( Q.S Asy - Syura : 42 ). Pengertian syariah dalam arti segala sesuatu yang dikandung di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah ditemukan dalam tulisan ulama terkemuka seperti dalam kitab Al-Ta'rifat karya Ali Ibn Muhammad Al-Jurjani dan dalam
kitab Al Musthasfa' Min 'ilm Al Ushul karya Imam Al-Ghazali. Mereka
berpendapat bahwa Syariah identik dengan Ad-Din (agama) dan tidak
identik dengan fikih. Sementara iti fikih didefinisikan oleh Imam Syafi'i
adalah ilmu tentang hukum syariah yang bersifat amaliah, yang diperoleh melalui
ijtihad dan dalilnya dijelaskan secara rinci.
Tegasnya syariah itu segala peraturan agama yang bersumber dari kitab
suci Al-Quran dan Al-Hadist. Allah SWT berfirman yang artinya : " untuk
tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. "
( Q.S 5 : 48 ). Orang-orang sufi mengartikan syariat sebagai amalan-amalan
lahir yang difardhukan dalam agama, yang biasa dikenal dengan Rukun Islam, dan
segala hal yang berhubungan dengan itu, yang bersumber dari Al-Quran dan
Hadist.
Oleh karena itu, rasa nikmat dalam beribadah itu telah merasuk kedalam
jiwa, maka timbullah kegairahan untuk memperbanyak amalan, tidak hanya yang
wajib, tetapi juga yang Sunnah. Amalan sunnah dihukumkan seperti amalan wajib,
yang ditetapkan tata cara dan waktu pengamalannya. Seperti dzikir sekian
kali dalam waktu tertentu. Akibatnya seluruh waktu mereka digunakan untuk
sholat dan dzikir dengan cara dan jumlah yang telah ditentukan.
Adapun syariat adalah bukti pengabdian manusia yang diwujudkan berupa
ibadah melalui Wahyu yang disampaikan kepada para Rasul dan legislasi cara kita
mencari yang pasti.
Syariat datang dengan peraturan hukum-hukum dari Sang Maha Pencipta
untuk sepaya teratur kehidupan manusia. Sedangkan Haqiqat bersumber dari
kreativitas Al-Haqq. Syariat merupakan penyembahan makhluk kepada Al-Khaliq,
sedangkan Hakikat adalah kesaksiannya dari sifat makhluk meliputi zat dan sifat
terhadap kenyataan kewujudannya.
Segala perbuatan yang dikerjakan oleh seluruh umat islam tidak terlepas
dari suatu hukum. Menurut pamdangan ahli tasawwuf, bahwa syariat itu baru
tingkat pertama menuju jalan tuhan, dengan demikian, berpegang dengan syariat
sama halnya berpegang dengan agama Allah, dengan menjalankan segala
perintah-nya dan berusaha sekuat tenaga untuk menjauhi larangan-Nya. Hal ini
sebagaimana dikatakan dalam kitab Kifayatul Atqiya' oleh Syekh Zainuddin bin
Ali Al-Malibari sebagai berikut : "syariat adalah berpegang kepada
agama Allah Khaliqqul alam dan menjalankan segala perintah-Nya serta menjauhi
segala larangan-larangannya. "
Oleh sebab itu, perlu ditegaskan sekali lagi bahwa tasawuf tidak dapat
dilepaskan dari pondasi islam, yaitu syariat. Dan barang siapa yang
meninggalkan syariat dalam bertasawuf dengan alasan apa saja, maka akan
batallah amalnya dan bahkan akan terjerumus kedalam kekufuran yang nyata.
1.2 Tariqah
Asal kata
‘tarekat’ dalam bahasa Arab ialah ‘thariqah'
yang berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu.[1] Tarekat
adalah 'jalan’ yang ditempuh para sufi dan dapat digambarkan sebagai jalan yang
berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar’ sedangkan
anak jalan disebut thariq.
Kata turunan ini
menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik mempakan cabang
dari jalan utama yang terdiri dari hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap
muslim. Tak mungkin ada anak
jalan tanpa ada jalan utama tempat berpangkal. Pengalaman mistik tak mungkin
didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahulu
dengan saksama. Dalam perkembangan selanjutnya, kata thariqab menarik perhatian kaum sufi dan mereka meniadikannya sebagai
istilah khusus yang mempunyai arti tertentu. Menurut L. Massignon, sebagaimana dikutip oleh Aboe Bakar
Atjeh, thariqah di kalangan
sufi mempunyai dua pengertian. Partama,
cara pendidikan akhlak dan jiwa bagi mereka yang berminat menempuh hidup sufi. [2]
Sementara
menurut Harun Nasution, tarekat berasal dari kata thariqah,
yaitu jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi dalam tujuannya berada
sedekat mungkin dengan Allah. Thariqah
kemudian mengandung arti organisasi [tarekat], Tiap tariqat mempunyai syekh,
upacara ritual, dan bentuk dzikir sendilri. Menurut pengamatan Jhon O. Voll,
istilah tarekat digunakan untuk organisasi sosial maupun kewajiban-kewajiban Yang ditujukan untuk maksud khusus yang menjadi basis ritual dan struktur kelompok Dengan demikian, “kelompok sufi
atau thariqat mencakup spektrum aktivitas yang luas dalam sejarah dan masyarakat muslim.
Tokoh pertama
yang nemperkenalkan sistem thariqah [tarekat] adalah Syekh Abdul Qldir
Al-Jailani [w 561 H/1166 M] di Baghdad. Ajaran
tarekatnya menyebar ke
seluruh penjuru dunia Islam, yang mendapat sambutan luas di Aljazair, Ghinia,
dan Jawa. Adapun di Mesir, tarekat yang banyak
pengikutnya adalah Tarekat Rifa’iyyah yang dibangun Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i
Thariqah pada
dasarnya tidak terbatas jumlahnya, karena setiap manusia semestinya harus mencari
jalannya sendiri sesuai bakat dan kemampuan atau taraf kebersihan hati mereka
masing-masing.[3]
Jalan tarekat untuk menuju ma’rifatullah dapat ditempuh melalui tahapan
berikut.
1.
tajarrud, yaitu melepaskan diri dari godaan
dunia, sebab dunia selalu melalaikan manusia untuk berbakti kepada Allah.
2.
Uzlah, yaitu menyisihkan diri dari
pergaulan dengan masyarakat ramai kemudian pergi meminta petunjuk dari syaikh.
3.
Fakir, yaitu tidak mempunyai apa-apa dalan
kategori duniawi karena orang yang memiliki banyak harta biasanya tidak sempat
memikirkan Tuhan.
4.
Dawam as-sukut, yaitu diam dan hanya
berkata-kata jika bermanfaat, senantiasa berdzikir kepada Allah, serta mengaku
lenah dan tidak berdaya.
5.
Qillah al akli, maksudnya sedikit makan dan
minum, karena terlalu banyak makan dan minum menyebabkan kantuk dan malas .
6.
Qiyam al lail, maksudnya senantiasa bangun
di waktu malam dengan shalat malam, dzikir, tsbih, tahlil, tahmid, takbir, dan
istighfar.
7.
Safar, maksudnya adalah mengembara untuk
menyempurnakan ajaran tarekat yang telah diberi mursyidnya. [4]
1.2.1 Sejarah Timbulnya Tarekat
Ditinjau dari
segi historisnya, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai suatu
lembaga, sulit diketahui dengan pasti. Namun,
Dr. Kamil Musthafa Asy-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan
Syi’ah mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan sistem thariqah itu adalah Syekh Abdul Qadir Al-Jailani di Baghdad, Sayyid Ahmad Ar-Rifa’i di
Mesir dengan Tarekat Rifa’iyyah, dan Jalal
Ad-Din Ar-Rumi di Parsia.
Tarekat adalah
organisasi dari pengikut sufi-sufi
besar. Mereka mendirikan organisasi-organisasi untuk melestarikan ajaran-ajaran
tasawuf gurunya. Maka, timbullah tarekat. Tarekat ini memakai suatu tempat
pusat kegiatan yang disebut ribat
[disebut iuga zawiyah, hangkah, atau pekir].
Ini merupakan tempat murid-murid berkumpul melestarikan ajaran tasawufnya,
ajaran tasawuf walinya, dan ajaran tasawuf syekhnya.“ Organisasi serupa mulai
timbul pada abad ke-12 M, tetapi
belum menonjol dan baru
tampak perkembangannya pada abad abad
berikutnya.
Teori lain
sejarah kemunculan tarekat dikemukakan Jhon O. Voll. Ia
menjelaskan bahwa penjelasan mistis terhadap Islam muncul sejak awal sejarah
Islam, dan para sufi yang
mengembangkan jalan-jalan spiritual personal mereka dengan melibatkan
praktik-praktik ibadah, pembacaan kitab suci, dan
kepustakaan tentang kesalehan. Para sufi ini
kadang-kadang terlibat konflik dengan otoritas-otoritas dalam komunitas Islam
dan memberikan alternatif terhadap orientasi yang lebih bersifat legalistik,
yang disampaikan oleh kebanyakan ulama. Namun, para sufi
secara bertahap menjadi figur-ftgur penting dalam kehidupan keagamaan di
kalangan penduduk awam dan mulai mengumpulkan kelompok-kelompok pengikut yang
diidentiflkasi dan diikat bersama oleh jalan tasawuf khusus (thariqah)
sang guru. Menjelang
abad ke-12 M
[ke-5 H],
jalan-jalan ini mulai menyediakan basis bagi kepengikutan yang lebih permanen,
dan tarekat-tarekat sufi pun muncul sebagai organisasi sosial utama dalam
komunitas Islam. Pada awal kemunculannya tarekat berkembang dari dua daerah,
yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak).[5]
1.2.2 Aliran-Aliran Tarekat dalam Islam
A. tarekat Qadiriyah
Qadiriyah
adalah nama tarekat yang diambil dari nama pendirinya, Abd Al-Qadir Jailani,
yang terkenal dengan sebutan
Syekh ‘Abd Qadir Al-lailani atau quthb
al-awliya. Tarekat ini
menempati posisi yang amat penting dalam sejarah spiritualitas Islam karena
tidak saja sebagai pelopor Iahirnya
organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang tarekat
di dunia Islam. Meskipun struktur organisasinya baru muncul beberapa dekade
setelah kewafatannya, semasa hidupnya sang syekh telah memberikan pengaruh yang
amat besar pada pemikiran dan sikap umat Islam. Ia dipandang sebagai sosok
ideal dalam keunggulan dan pencerahan
spiritual. Di antara praktik tarekat Qadiriyah adalah dzikir (terutam
melantunkan asma’ Allah berulang-ulang).
B. Tarekat Syadziliyah
B. Tarekat Syadziliyah
Tarekat Syadziliyab
tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu Al-Hasan
Asy-Syadzili. Selanjutnya, nama tarekat ini dinisbahkan kepada namanya
Syadziliyah yang mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan tarekat-tarekat
lainnya. Syadziliyah menyebar luas di sebagian besar Dunia Muslim. Ia diwakili
di Afrika Utara terutama oleh cabang-cabang Fasiyah dan Darqawiyah serta
berkembang pesat di Mesir.
C. Tarekat Naqsabandiyah
C. Tarekat Naqsabandiyah
Tarekat
Naqsabandiyab, yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Awisi
Al-Bukhari [w. 1389 M] di Turkistan.
Ciri menonjol tarekat Naqsabandiyah adalah: Pertama, mengikuti syariat secara
ketat, keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan terhadap musik dan
tari, dan lebih menyukai berdzikir dalam hati. Kedua, upaya yang serius dalam
memengaruhi kehidupan
dan pemikiran golongan penguasa serta mendekati negara pada agama. Berbeda
dengan tarekat lainnya, tarekat ini tidak menganut kebijakan isolasi diri dalam
menghadapi pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu. Sebaliknya, ia
melancarkan konfrontasi dengan berbagai kekuatan politik agar mengubah
pandangan mereka.
D. Tarekat Yasafiyah dan Khawajagawiyah
D. Tarekat Yasafiyah dan Khawajagawiyah
Tarekat Yasafiyah didirikan oleh Ahmad Al-Yasafi dan disusul oleh tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abd Al-Khaliq Al-Ghuzdawani. Kedua tarekat
ini menganut paham tasawuf Abu Yazid Al Bustami
dan dilanjutkan oleh Abu AlFarmadhi dan Yusuf bin Ayyub Al-Hamadani. Tarekat ini sangat populer dan pemah memegang peranan panting di Turki yang
dikenal dengan Korp Jenissari yang diorganisir Oleh Murad I pada masa Turki
Utsmani.
E. Tarekat Rifa’iyah
E. Tarekat Rifa’iyah
Tarekat ini
didirikan oleh Ahmad bin Ali Ar-Rifa’i. Tarekat
sufi Sunni ini memainkan peranan penting dalam pelembagaan sufisme.
Kemungkinan besar, hingga abad ke-15,
Rifa’iyah merupakan tarekat sufi
pertama yang paling tersebar luas. Setelah
itu, popularitas Rifa’iyah berlaniut di Dunia Arab. Di sana, pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20,
tarekat ini memiliki jumlah
tekke terbesar.
Sedangkan,
tarekat-tarekat yang didirikan di
Indonesia, di antaranya :
A. Tarekat Akmaliyah (Haqmiyah)
A. Tarekat Akmaliyah (Haqmiyah)
Didirikan oleh
Kyai Nurhakim. Ia dikenal sebagai dukun dan tukang jimat. Ia pemah belajar ke
Kyai Hasan Maulani di Lengkong Cirebon. Ia pergi ke
Bogor dan Banten serta masuk tarekat Rifa'iyah. Tarekat ini menganut ajaran
metafisika wahdab al-wujud dan menganggap
kitab Al-Insan Al-Kamil Al-Jili sebagai teks pokok
ajaran mereka.
B. Tarekat Shiddiqiyah.
B. Tarekat Shiddiqiyah.
Didirikan oleh
Kyai Mukhtar Mukti di Losari Plodo (Jombang) pada tahun 1958. la dikenal sebagai dukun yang
sakti sehingga banyak pengikutnya dari kalangan penderita penyakit kronis,
bekas pecandu minuman, dan mereka yang dibebani perasaan bersalah atau frustasi
akibat kegagalan di bidang politik dan perdagangan. Ajarana ajaran tauhid disajikannya dalam bentuk yang sudah
disesuaikan dengan budaya masyarakat Jawa dan
amalan-amalan sufi
yang diajarkannya terdiri dari ratib-ratib panjang yang diikuti dengan latihan
pengaturan napas.
C. Tarekat Wahidiyab.
C. Tarekat Wahidiyab.
Didirikan oleh
Kyai Madjid Ma‘ruf dari Kedunglo (Kediri)
pada tahun 1963. Tarekat ini bersifat terbuka dan mudah diikuti oleh siapa saja
tanpa prosedur yang sulit, yaitu cukup dengan mengamalkan dzikir shalawat
Wahidiyah, yang menurut pengakuan pendirinya disusun berdasarkan ilham dari
Allah. Shalawat ini dibaca secara bersama-sama yang menyebabkan para
pengamalnya menangis meraung-raung dan tak bisa menguasai diri. Tarekat ini
mempunyai banyak pengikut di kalangan masyarakat awam Kediri dan menyebar ke seluruh
Jawa Timur.[6]
1.3 Haqiqah
Hakikat
(Haqiqat) adalah kata benda yang berarti kebenaran atau yang benar-benar ada.
Kata ini berasal dari kata pokok hak (al-Haq), yang berarti milik (kepunyaan)
atau benar (kebenaran).
Secara
etimologi haqiqah berarti inti sesuatu, puncak atau sumber asal dari sesuatu.
Dalam dunia sufi, haqiqah diartikan sebagai aspek lain dari syari’ah yang
bersifat lahiriah, yaitu aspek batiniah. Dengan demikian haqiqah dapat
diartikan sebagai rahasia yang paling dalam dari segala amal, dan inti dari
syari’ah.
Dalam bahasa
hakikat yaitu arti yang sebenarnya atau intisari atau isi akhiran. Sedangkan
hakikat islam ialah bebas dan bersih dari penyakit lahir dan bathin yang
menimbulkan perasaan nyaman, damai dan tentram serta menjadikan kita patuh dan
taat pada segala apa yang diperintahkan oleh-Nya juga menjauhi segala
larangan-Nya. Jadi Hakikat adalah buah dari benih syariat yang pengamalannya
melalui tarekat menjadi sebuah pohon rimbun yang menghasil buah.
Menurut Prof.
Dr. H. Abu Bakar Aceh seperti yang dikutip Abdul Karim as Salawy yaitu
menyimpulkan tentang ilmu haqiqat itu ada tiga bagian antara lain:
1.
Hakekat Tashawwuf
Hakekat
Tashawuf ini diutamakan untuk membicarakan usaha-usaha memutuskan syahwat dan
meninggalkan dunia dengan segala keindahanya serta menarik diri dari
kebiasaan-kebiasaan duniawi.
2.
Hakekat Ma’rifat
Yaitu mengenal
nama-nama Alloh dan sifat-sifat Nya dengan bersungguh-sungguh dalam segala
pekerjaan .
3.
Hakekatul Haqoiq
Hakikat ini
merupakan puncak segala hakikat, ia termasuk martabat ahadiayah, penghimpun
bagi semua hakikat.[7]
1.4 Ma’rifat
Menurut Al
Ghazali, ma’firat adalah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada.[8]
Alat memperoleh makrifat bersandar pada sir, qalb, dan ruh. Jika dilimpahi
cahaya Tuhan, qalb dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan dengan sir, qalb dan
ruh yang telah suci dan kosong, tidak berisi apapun. Saat itulah ketiganya ajan
menerima iluminasi dari Allah. Pada waktu itu pulalah, Allah menurunkan cahaya Nya
kepada sang sufi sehingga yang dilihat sang sufi hanyalah Allah. Di sini,
sampailah ia ke tingkat ma’rifat.[9]
Tujuan utama
yang menjadi inti dari ajaran tasawuf adalah mencapai penghayatan ma’rifat pada
Dzatullah. Ma’rifat dalam tasawuf adalah penghayatan atau pengalaman kejiwaan.
Oleh karena itu alat untuk menghayati Dzat Allah bukanlah pikiran atau panca
indera akan tetapi hati.[10]
Imam Al Ghazali
menekankan pada fungsi hati sebagai alat untuk melihat perbendaharaan yang
tersembunyi dalam alam ghaib dan untuk ma’rifat kepada Dzat Allah.[11]
Al Muhasibi
menjelaskan tahapan-tahapan ma’rifat sebagai berikut :
1. Taat
1. Taat
Awal dari kecintaan kepada Allah adalah taat. Taat merupakan wujud
konkret ketaatan hamba kepada Allah. Kecintaan kepada Allah hanya dapat
dibuktikan dengan jalan ketaatan, bukan sekedar pengungkapan ungkapan-ungkapan
kecintaan semata sebagiamana dilakukan sementara orang. Mengekspresikan
kecintaan kepada Allah hanya dengan ungkapan-ungkapan, tanpa pengalaman
merupakan kepalsuan semata. Diantara implementasi kecintaan kepada Allah adalah
memenuhi hati dengan sinar. Sinar ini kemudian melimpah pada lidah dan anggota
tubuh yang lain.
2. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
3. Pada tahap ketiga ini, Allah menyingkap khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah memenuhi kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
4. Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi adalah fana’ yang menyebabkan baqa’.[12]
2. Aktivitas anggota tubuh yang telah disinari oleh cahaya yang memenuhi hati merupakan tahap ma’rifat selanjutnya.
3. Pada tahap ketiga ini, Allah menyingkap khazanah-khazanah keilmuan dan kegaiban kepada setiap orang yang telah memenuhi kedua tahap di atas. Ia akan menyaksikan berbagai rahasia yang selama ini disimpan Allah.
4. Tahap keempat adalah apa yang dikatakan oleh sementara sufi adalah fana’ yang menyebabkan baqa’.[12]
Di dalam kitab Ihya’ Ulum Ad Din, Al
Ghazali membedakan jalan pengetahuan sampai kepada Tuhan bagi orang awan, ulama
dan orang arif (sufi). Untuk itu ia membuat perumpamaan tentang keyakinan bahwa
si Fulan ada di dalam rumah. Keyakinan orang awan dibangun atas dasar taklid
dengan hanya mengikuti perkataan bahwa si Fulan berada di dalam rumah, tanpa
diselidiki lagi. Bagi Ulama, keyakinan adanya si Fulan di dalam rumah dibangun
atas dasar adanya tanda-tanda, seperti suara yang terdengar walaupun tidak
kelihatan orangnya. Adapun orang arif tidak hanya melihat tanda-tandanya
melalui suara di balik dinding. Lebih jauh dari itu, ia pun memasuki rumah dan
menyaksikan dengan mata kepalanya bahwa si Fulan benar-benar berada di dalam
rumah.[13]
Imam Ghazali membagi iman menjadi tiga tingkat, yang diterangkan sebagai
berikut :
1.
Keimanan tingkat awal, imannya orang-orang awam, yakni iman atas
dasar semata-mata taklid
2.
Tingkat kedua, imannya para mutakalimin (teolog), atas dasar campuran
taklid dengan sejenis dalil. Tingkat ini masih dekat dengan keimanan orang
awam.
3.
Tingkat ketiga, imannya para arifin (sufi) atas dasar persaksian
secara langsung dengan perantara nurul yaqin. (ihya’ Ulum al-Din, III, hlm.15)[14]
Beberapa pandangan hakikat makrifat
:
1.
Sesungguhnya ma’rifaf yang haqiqi bukanlah ilmu tentang keesaan
Tuhan, sebagaimana yang diprcayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu burhan
dan nazhar milik para hakim, mutakalimin, dan ahli balaghah, tetapi ma’rifat
terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wali Allah. Sebab, mereka
adalah orang-orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbuklah
baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamba Nya yang lain.
2.
Ma’rifat yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan
cahaya ma’rifat yang murni seperti matahari yang tak dapat dilihat, kecuali
dengan cahayanya. Senantiasa salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga
terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaan Nya, mereka merasa berbicara
dengan ilmu yang telah diletakkan Allah dengan lidah mereka, mereka melihat
dengan pengilhaatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan Allah.[15]
1.5 Hubungan antara syari'ah, thariqah, haqiqah dan ma'rifat
1.5 Hubungan antara syari'ah, thariqah, haqiqah dan ma'rifat
Uraian tentang syari’ah, thariqah,
haqiqah, dan ma’rifah di atas mengambarkan betapa seriusnya para ulama sufi
dalam upayanya memberi jalan bagi umat untuk mengamalkan ajaran islam dengan
mudah dan tepat, sehingga mengantarkan hamba menuju kebahagian zhahir dan
batin.
Syariah itu diibaratkan sebagai
perahu dimana ia menjadi sarana untuk sampai pada tujuan, sementara thariqah
bagaikan lautan luas yang tersedia sebagai wahana tempat tujuan berada.
Sedangkan haqiqah adalah laksana intan berlian mahal yang menyenangkan hati
sebagai tujuan perjalanan perahu. Dan ma’rifat itu adalah tujuan yang terakhir.
Ber-thariqah dan ber-haqiqah (berada
dilautan luas menggapai mutiara) tergantung dengan syariah (sarana perahu yang
kokoh). Seorang tidak akan berhasil ber-thariqah dan ber-haqiqah tanpa melalui
syariah. Dengan ungkapan lain, bahwa seseorang tidak akan mendapatkan
intan-mutiara tanpa menyediakan perahu dan menyemai lautan dalam.
Perumpamaan keempat konseptersebut
merupakan sebuah sistem dan struktur amalan islam yang tidak dapat
dipisah-pisah.
Ibarat buah manis suatu pohon, maka
tidak bisa buah tersebut bermunculan terus tanpa disuplai oleh akar-akar pohon,
oleh karena kesemuanya merupakan satu struktur sistematik. Sama halnya dengan
satu buah berharga semisal durian. Seseorang tidak dapat langsung memperoleh
inti buahnya, kecuali terlebih dahulu harus mengupas kulit dengan susah payah,
dan beresiko terkena durinya, dan oleh sebab itu harus hati-hati.
Atas dasar ilustrasi seperti itu,
ibadah-ibadah islam terus diwajibkan sepanjang hidup manusia sembari diperoleh
buah ibadah yang berupa ma’rifattullah yang menjadi hakikat dan tujuan ibadah
tersebut.
Dari
uraian dan ilustrasi tentang syariah, thariqah, haqiqah, dan ma’rifat di atas
dapat dipahami, bahwa keempat tema tersebut adalah sebuah konseptualisasi
terhadap islam oleh para sufi dalam rangka menjelaskan prosedur pengamalan
islam dengan benar. Singkatnya, konseptualisasi tersebut menggambarkan
intensitas keislaman pengamalanya, bukannya mengkotak-kotak islam menjadi empat
dimensi terpisah.
[3]
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Perasada, 2002),
hlm. 40
[4]
Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, (Jakarta, Amzah, 2017), hlm. 291
[7]
Abdul Karim as Syalawy, Titik Persimpangan Tasawuf dan Kebatinan
(Pekalongan: Bahagia, 1995) hal. 75-76
[8]
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta, Bulan
Bintang, 1978), hlm. 78
[10]
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Perasada, 2002),
hlm. 115
[11]
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Perasada, 2002),
hlm. 118
[14]
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta, PT Raja Grafindo Perasada, 2002),
hlm. 153
No comments:
Post a Comment